Detil Arsip
header
Skip Navigation Links
Home
Profile
News
Articles
Business
Agendas
Feedbacks
agenda
April 2024
May 2024
June 2024
July 2024
August 2024
 
artikel
Kesehatan
p 11/12/2011 16:05 WIB | 0 | 4608
Terapi Komponen Darah dan Indikasi Transfusi Darah  
p 11/12/2011 15:58 WIB | 0 | 4670
Teh Hijau Meningkatkan Efek Kerja Antibiotik  
p 11/12/2011 15:40 WIB | 0 | 8613
Tramadol untuk Ejakulasi Dini  
p 11/12/2011 15:27 WIB | 0 | 4219
Vitamin D Meningkatkan Motilitas Sperma  
p 28/11/2011 20:32 WIB | 0 | 3986
Penyakit Pertusis (Batuk Rejan) dan Pencegahannya.  
 
Humor
p 11/12/2011 15:47 WIB | 0 | 4524
8 Cara Mempercepat Pembakaran Kalori  
p 28/11/2011 19:48 WIB | 0 | 4370
Tips Mencegah Penyakit Malaria  
p 28/11/2011 19:40 WIB | 0 | 4220
7 Kebiasaan Tidur yang Sehat  
p 28/11/2011 19:29 WIB | 0 | 3923
Inilah 8 Fakta dari Pasta Gigi  
p 28/11/2011 19:24 WIB | 0 | 3905
10 Tips untuk Meningkatkan Daya Pikir Kita  
 
Inspirasi
p 23/11/2011 04:06 WIB | 0 | 3783
Karena Aku Ingin Terbang  
p 23/11/2011 04:05 WIB | 0 | 4601
Seluas Telaga  
p 23/11/2011 04:05 WIB | 0 | 3885
Mawar Untuk Ibuku  
p 23/11/2011 04:04 WIB | 0 | 4177
Misi Hidup Dalam Sebuah Kerja.  
p 23/11/2011 04:04 WIB | 0 | 3907
Tak Seperti Yang Tampak di Mata  
link
p Univ. Tarumanagara
p Perpus.Dig.UNTAR
p IDI Online
p Kamus Kedokteran
p Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
 
Berita Umum
 
Malu Aku Jadi Dokter Indonesia
Oleh admin | 27 Apr 2009 07:12 WIB | 2,412 views
Malu Aku Jadi Dokter Indonesia
Sabtu, 25 April 2009 | 03:26 WIB
Lewat tulisan rumah (yang) sakit (Kompas, 14/3/09) Radhar Panca Dahana mengeluh buruknya layanan medik kita. Tulisan itu mewakili nasib banyak pasien. Yang diungkapnya fakta keresahan tak sedikit pasien kita. Betul harus diakui banyak pasien kita terpojok sebagai pihak yang dirugikan. Handrawan Nadesul

Resep dokter ditulis tak rasional, lebih banyak pasien berobat kalau punya uang saja, komersialisasi layanan medik, layanan medik dirasakan tak manusiawi. Itulah potret layanan medik yang dibaca dengan kacamata bukan orang medik. Saya ingin mengulasnya dari kacamata pekerja medik.

Membangun di hulu

Untuk menguak mengapa layanan medik kita meresahkan masyarakat, tugas dan kewajiban pekerja medik kita perlu dikenali masyarakat.

Lebih banyak rakyat Indonesia baru berobat kalau punya uang. Dua pertiga dari mereka tidak sekolah tinggi dan lemah kemampuan hidup sehatnya. Karena itu, arah pembangunan kesehatan kita jelas garisnya pencegahan.

Dengan konsep pencegahan (primary health care) kesehatan di hulu kita bangun. Pilihan itu dinilai lebih efisien. Lihat saja Banglades. Bukan sebab anggaran kesehatan dinaikkan maka Banglades lebih sehat dari kita, melainkan karena Banglades teguh melakukan layanan pencegahan.

Membangun di hulu ongkosnya jauh lebih murah. Karena jika hulu tidak dibangun, di hilir jumlah orang sakit terus meningkat. Karena angka penyakit meningkat, anggaran habis buat belanja obat. Belanja obat lebih mahal ketimbang ongkos bikin rakyat tidak sakit sejak di hulu.

Puskesmas menjadi tulang punggung pembangunan kesehatan di hulu. Namun, puskesmas bukan rumah sakit sehingga hanya mampu melayani satu dari lebih 12 program. Di sana, masyarakat kita yang masih belum melek sehat dilatih menjadi pintar agar tidak sakit. Namun tidak semua puskesmas mampu melakukan pembangunan di hulu. Akibatnya, rumah sakit masih seperti pasar malam. Yang dilayani melebihi kapasitas yang melayani. Maka, layanan medik cenderung tak profesional.

Konsekuensi sistem

Dari dulu sukar mengatur distribusi tenaga dokter. Semua dokter muda kepingin praktik di kota besar supaya lekas maju. Kalaupun mau di puskesmas, apalagi di daerah terpencil, mereka minta imbalan gaji atau janji spesialisasi. Hal itu normal, bukan saja sekolah dokter memakan waktu lama dan ongkosnya tidak kecil, tetapi juga pencitraan: bukan dokter kalau tak punya rumah dan mobil pribadi.

Citra kumuh dokter mengurangi kepercayaan pasien. Profesi dokter butuh faktor trust. Di mata pasien, lulus cum laude saja tak cukup, kalau dokter pergi praktik naik ojek.

Berbeda dengan dokter di negara dengan sistem layanan medik, citra profesi cukup dibangun dengan berpraktik di satu rumah sakit. Perhatian dan konsentrasi kerja dokter tak perlu pecah terbagi mencari tambahan di tempat lain.

Lebih berat

Bobot kerja profesi dokter kita jauh lebih berat daripada dokter negara maju. Pasien puskesmas bisa ratusan. Bagaimana bisa teliti memeriksa. Akibatnya, kesehatan gagal dibangun di hulu sehingga orang sakit terus meningkat.

Tugas dokter puskesmas bukan hanya memeriksa pasien. Dua pertiga jam kerjanya harus di lapangan untuk menyuluh, rapat dengan pamong, dan meninjau masyarakat.

Bobot kerja dokter rumah sakit juga melebihi ketika bekerja profesional. Tak heran kalau ada profesor kita yang salah membaca hasil rontgen. Tentu bukan karena kebodohan. Kasus malapraktik acap terjadi akibat bobot kerja dan kondisi profesi seperti dipikul rata-rata dokter kita.

Kekuasaan dokter

Harus diakui kekuasaan profesi dokter kelewat tinggi. Apa pun yang diminta dokter pasien hanya bisa patuh saja. Ketidaktahuan medik pasien membuat pasien tak berdaya di hadapan dokter. Moral dokter bisa tergoda mencari untung dari ketidaktahuan pasien.

Sekolah dokter mengajarkan agar menulis resep rasional. Kalau ada obat lebih murah dengan efek sama mengapa menulis yang lebih mahal. Kalau tak perlu dirawat atau wajib operasi, mengapa memilih memberatkan pasien. Sumpah dokter melarang memperlakukan pasien seperti nomor. Dokter wajib menjawab pertanyaan pasien, menjelaskan sebelumnya mengenai operasi yang akan dilakukan.

Industri medik juga meningkatkan overutilisasi alat pemeriksaan (karena memeriksa apa saja yang sebetulnya tidak diperlukan) menjadikan rakyat yang sungguh memerlukan akhirnya tak mendapatkannya sehingga mereka merasa diperlakukan diskriminatif. Di beberapa negara ada regulasi pembatasan jumlah pasien sehari. Kita tidak.

Sekarang terjawab mengapa kalau lebih sering muncul kasus malapraktik, kalau pasien lebih sering bertemu dokter yang tak ramah (misconduct). Sebagian muncul sebagai konsekuensi sistem kesehatan yang kita pilih, tingginya otonomi dokter, dan moral profesi yang goyah. Ditambah dengan struktur penggajian tenaga dokter dan kebijakan praktik dokter membuat masyarakat masih berpikir untuk berobat ke Ponari. Ketika rakyat masih memerlukan layanan kesehatan primer, industri medik malah terus menekan.

Sebagai dokter, tak patut bila karena potret buruk, cermin dibelah. Namun, karena profesi dokter masih dipagari oleh etika profesi, posisi saya serba salah. Otokritiknya, perlu solusi membangun ”praktik bersama” agar berlangsung proses tilik-sejawat (peer review) sehingga kekuasaan dokter tidak tanpa batas.

Untuk itu sistem kesehatan saatnya menggratiskan setiap warga negara. Kita mampu melakukannya. Pendidikan etika medik menjadi modul tersendiri bagi setiap calon dokter sehingga pembangunan kesehatan di hulu dapat berhasil.

Bila rakyat makin pintar sehat, makin kritis, dan skeptik, makin berkuranglah kekuasaan dokter. Dokter tak berani berpraktik seenaknya lagi. Kekuasaan dokter perlu dibagi untuk hak pasien. Hukum kedokteran saatnya ditegakkan. Walau tidak setiap kasus yang merugikan pasien adalah salah pihak medik, dan masih banyak dokter yang baik, tetapi jika perubahan di atas tak terjadi, malu aku jadi dokter Indonesia.

HANDRAWAN NADESUL Dokter, Pengasuh Rubrik Kesehatan, Penulis Buku
dari : Kompas
 

 
 
  Email Arsip Print Arsip
 
0 Comments >>     (Anda harus melakukan login dahulu agar dapat memberi komentar)
 
login
Username
Password

Registrasi   |  Lupa Password
line

 Members:  402
Online:  2
Counter:  776697
IP:  3.16.69.143
 
Alumni Kita


Yessi Simarmata
 
home   |  profil   |  berita   |  artikel   |  agenda   |  saran
Copyright © 2009 Ilumni Falkutas Kedokteran Universitas Tarumanagara - All rights reserved.