Setelah Fakultas Ekonomi, Fakultas Teknik dan Fakultas Hukum, pada 1 Oktober 1965 Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Tarumanagara berdiri. Sedangkan Fakultas Sastra ketika itu urung berdiri. Usia FK Untar, kini 43 tahun. Aktivitas kuliah dijalankan di Gedung J, di kompleks Kampus I Universitas Tarumanagara. Alumni FK Untar saat ini tercatat sekitar 2.100 dokter yang tersebar di dalam maupun di luar negeri. “Kami rutin melakukan pertemuan-pertemuan misalnya seminar. Pertemuan alumni ini sangat besar kontribusinya terhadap eksisnya fakultas kedokteran,” kata dr Tom Suryadi, MPH, dekan FK Untar. Sejak berdiri, FK tidak lepas dari jatuh-bangun. “Tahun 1970, kami malah Cuma menerima sekitar 40 mahasiswa,” katanya. Memang, minat kuliah di FK pada awalnya kurang. Pasca-reformasi tahun 1998, situasinya berubah. Minat mahasiswa membidik FK makin besar. “Karena waktu itu banyak terjadi PHK dan orang melihat FK tidak mengalami resesi. Artinya profesi dokter bisa berpraktek sendiri,” katanya. Kemandirian profesi dokter membuat minat ke FK bertambah banyak. Tiap tahun ada 800 orang mendaftarkan diri, namun hanya 200 orang yang diterima. “Kita sangat selektif menerima mahasiswa. Metodenya tidak jauh berbeda dengan penerimaan di FK universitas lain,” katanya. Fokusnya pada matematika, bahasa Inggeris dan Indonesia, fisika, biologi, kimia. Diakui Tom, sumber daya sangat menentukan pemilihan jurusan FK Untar. Untuk itu, FK Untar yang terakreditasi A tetap mengacu pada kurikulum pendidikan sebagaimana diterapkan Dirjen Dikti. Untuk biaya, Tom menyatakan, sumbangan masuk sekitar Rp 100 juta. Selanjutnya biaya per semesternya sebesar Rp 12,5 juta dengan tingkat batas masa studi sebanyak 14 semester. Diakui Tom, FK di mana pun memang terkenal “tinggi gengsi” ketimbang fakultas lain. “Ini lahir dari masyarakat kita yang seolah punya gengsi tinggi jika ada keluarganya mengikuti pendidikan di FK,” katanya. Soal dana pun berbeda, karena penyelenggaraan pendidikan di FK memerlukan alat praktikum yang mahal. Masalah yang dirasakan FK saat ini adalah kesulitan memperoleh ladang praktek di rumah sakit menjelang akhir pendidikan. “Pasalnya, rumah sakit itu kebanyakan bukan milik fakultas.” Ini dirasakan hampir oleh semua FK yang ada. Diharapkan, rumah sakit yang dibangun yayasan dapat menyediakan kesempatan bagi mahasiswa untuk menerapkan ilmunya lebih dalam sebelum mengabdi ke masyarakat. Sejak tahun akademik 2007/2008 ini, FK Untar memasuki era kurikulum berbasis kompetensi yang dalam penyelenggarannya menggunakan metode belajar berdasarkan masalah (problem based learning). Kurikulum baru ini berlangsung 10 semester dan terbagi dalam tiga tahap, yakni: pendidikan umum satu semester, pendidikan pengetahuan dan keterampilan dasar kedokteran enam semester, serta kepaniteraan klinik tiga semester. Dengan metode ini, lulusan FK Untar setidaknya dapat mencapai tujuh area kompetensi untuk menjadi dokter yang baik seperti keterampilan komunikasi efektif, keterampilan klinik dasar, keterampilan menerapkan dasar ilmu biomedik, ilmu klinik, ilmu perilaku dan epidemiologi praktek, kedokteran keluarga serta keterampilan pengelolaan masalah kesehatan individu, keluarga atau pun masyarakat dengan cara komprehensif, holistik, berkesinambungan dan terkoordinasi. Intinya, menurut Tom, FK Untar berusaha mencetak dokter yang memenuhi standar kelulusan dalam pendidikan. Artinya ada kompetensi yang harus dicapai.. “Kita semua ingin mencapai tuntutan seperti dengan standar yang harus dipenuhi,” katanya. Dengan alumni yang tersebar itu, alumni FK Untar sudah banyak yang bisa diandalkan dan tidak mengecewakan di tengah masyarakat karena di antara mereka, selain punya jabatan tinggi di pemerintah dan menjabat direktur rumah sakit, tidak sedikit pula di antara mereka merupakan dokter teladan yang tersebar di banyak daerah dalam maupun luar negeri.
Sumber: Majalah Gatra Edisi Khusus Pendidikan 2009, No. 25 Tahun XV, 30 April-6 Mei 2009.
Di salinkan oleh dr Andry H.
|